Islam Media News.com ~ Ini adalah kelanjutan pembahasan Pengertian Bid'ah Menurut Syara' bagian terakhir (bagian ke-3). Untuk bagian pertama, silakan Anda baca di sini dan bagian kedua di sini.
e.
Imam Ibnu ‘Abd al-Barr
Beliau
adalah seorang hafizh lagi faqih dari kalangan mazhab Maliki.
Pernyataan beliau tentang bid’ah pun memperlihatkan pandangan beliau yang tidak
menganggap semua bid’ah itu dhalalah. Simaklah apa yang beliau katakan:
وَأَمَّا قَوْلُ عُمَرَ
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ إِخْتِرَاعُ مَالَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ
ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفًا لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ
فَتِلْكَ بِدْعَةٌُ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا
وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ
سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍِ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ
وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
Adapun ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang sudah berlaku, maka ia adalah bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi dasar syari’at dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (al-Istidzkar, 5/152)
Perhatikanlah, dengan berlandaskan pada ucapan Umar bin
Khathtab radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan bahwa bid’ah yang
terlarang, yang disifati sebagai bid’ah dhalalah, adalah bid’ah dalam
agama yang menyelisihi sunnah yang telah berlaku di dalam agama ini. Bid’ah
semacam ini harus ditolak, dicela, dilarang, bahkan pelakunya wajib dijauhi
jika memang kesesatannya telah terbukti dengan jelas. Namun, apabila bid’ah
dalam urusan agama itu tidak bertentangan dengan sunnah yang telah berlaku,
maka ia adalah sebaik-baik bid’ah.
f.
Imam Ibn al-‘Arabi al-Maliki
Beliau adalah seorang hafizh, faqih, dan mufassir
besar dari mazhab Maliki. Beliau berkata dengan bid’ah:
وَقَالَ
عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ: وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ الْبِدَعِ مَا خَلَفَ
السُّنَّةَ وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍِ
“Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ini sebaik-baik bid’ah.’ Bid’ah yang dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi Sunnah. Perkara baru yang dicela adalah yang mengajak kepada kesesatan.” (‘Aridhat al-Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, 10/147)
g.
Imam Ibn al-Atsir al-Jaziri
Beliau adalah seorang ulama yang pakar dalam bidang hadits
dan bahasa. Dengan keluasan ilmu yang dimilikinya, beliau pun menyimpulkan
bahwa tidak semua bid’ah itu buruk, tapi juga ada yang baik. Beliau menyebutnya
dengan istilah bid’ah huda dan bid’ah dhalal. Simaklah ucapan beliau berikut ini:
الْبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍِ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفٍِ مَا
أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ مِنْ
حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ عُمُوْمٍِ مِمَّا
نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌُ
مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍِ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ
فِي اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ
خِلاَفِ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ
“Bid’ah itu terbagi dua: bid’ah huda (bid’ah yang sesuai dengan petunjuk) dan bid’ah dhalal (bid’ah sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Bid’ah yang masih termasuk di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyelisihi syara’.” (Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, 1/267)
Melalui ucapannya ini, al-Imam al-Hafizh Ibn al-Atsir
al-Jaziri rahimahullah menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu yang
baru, jika masih berada dalam naungan keumuman perintah Allah dan Rasul-Nya,
maka tergolong bid’ah terpuji, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau juga menegaskan, berbagai macam bentuk kedermawanan
dan perbuatan baik yang ada saat ini, yang boleh jadi pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam amal tersebut belum dikenal, maka ia
tergolong perbuatan terpuji yang tidak mungkin menyalahi hukum-hukum syara’.
h.
Imam al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqalani
Beliau adalah seorang hafizh lagi faqih bermazhab Syafi’i. Siapa
yang tidak mengenalnya dan siapa yang tidak mengakui kedalaman dan keluasan
ilmunya. Beliaulah penulis kitab Fath al-Bari yang menjadi syarah kitab Shahih
Bukhari, yang hingga saat ini menjadi rujukan umat Islam. Tentang bid’ah,
beliau memiliki kesamaan pandangan dengan al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahullah
dan al-Imam al-Suyuthi rahimahullah. Simaklah ucapan beliau berikut
ini:
وَالْبِدْعَةُ
أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ
فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ
كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍِ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌُ
وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍِ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ
مُسْتَقْبَحَةٌُ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى
اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ
“Dari segi bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan bagi sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian yang bersifat mubah. Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fath al-Bari, 4/253)
i. Imam al-Shan’ani
Beliau adalah seorang muhaddits dan faqih,
penulis kitab Subul al-Salam yang menjadi syarah bagi kitab Bulugh
al-Maram. Di dalam kitab tersebut ada ungkapan beliau yang berkaitan dengan
bid’ah. Beliau berkata:
الْبِدْعَةُ
لُغَةًَ: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا:
مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌُ مِنْ كِتَابٍِ وَلاَ
سُنَّةٍِ وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍِ:
وَاجِبَةٍِ كَحِفْظِ الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ وَالرَّدِّ عَلَى الْمَلاَحِدَةِ
بِإِقَامَةِ اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍِ كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍِ
كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍِ
وَمَكْرُوْهَةٍِ وَهُمَا ظَاهِرَانِ، فَقَوْلُهُ: -كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ- عَامٌّ
مَخْصُوْصٌ
Menurut bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului adanya pengakuan syara’ melalui al-Qur’an dan Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah ke dalam lima bagian: a) Bid’ah wajib, seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil; b) Bid’ah mandubah, seperti membangun berbagai madrasah; c) bid’ah mubahah, seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah; d) bid’ah muharramah; dan e) bid’ah makruhah, sedangkan keduanya telah jelas contoh-contohnya. Dengan demikian, hadist yang berbunyi –“Semua bid’ah itu sesat”— adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Subul al-Salam, 2/48)
Nah, perhatikanlah berbagai uraian tentang bid’ah yang telah
disampaikan oleh para ulama terkemuka dari setiap kurun waktu di atas. Mereka
adalah para ulama pewaris ilmu-ilmu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan
pemahaman yang baik tentang syari’at, dan tulisan-tulisan yang mereka
tinggalkan telah menjadi rujukan untuk memahami bagaimana Islam ini yang
sesungguhnya, sejak dahulu hingga saat ini, bahkan untuk masa-masa yang akan
datang.
Dengan keluasan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak
mengingkari adanya bid’ah hasanah. Mereka tidak menganggap bid’ah
dhalalah semua amal kebajikan yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka menjadikan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’
sebagai tolok ukur untuk menetapkan sesuatu itu sebagai bid’ah dhalalah
atau bid’ah hasanah. Segala macam hal baru di dalam agama yang tidak
menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’ mereka masukkan ke dalam bagian bid’ah
hasanah. Sedangkan segala hal baru yang menyelisihinya adalah bid’ah
dhalalah yang harus dicela, ditentang dan pelakunya harus dijauhi.
Lalu, bagaimana mungkin saat ini ada segelintir orang yang
berani mengingkari bid’ah hasanah dan mencela para ulama yang
membenarkan keberadaan bid’ah hasanah, sementara mereka bukanlah
tergolong al-muhaddits, al-hafizh, al-faqih, dan berbagai gelar lainnya.
Para ulama yang mengakui keberadaan bid’ah hasanah adalah orang-orang
yang telah menghafal berpuluh ribu, bahkan ratusan ribu hadits lengkap dengan
sanad dan hukum matannya. Sementara
mereka yang bisanya hanya mencela itu, bahkan tak memiliki hafalan sepuluh buah
hadits pun, lengkap dengan sanad dan hukum matannya. Jika demikian keadaannya,
pendapat siapakah yang lebih layak kita ikuti? Yang hafal ratusan ribu hadits
atau yang hanya mampu mencela saja? Pikirkanlah! (Selesai)
0 komentar:
Posting Komentar