Home » » Pengertian Bid'ah Menurut Syara' (2)

Pengertian Bid'ah Menurut Syara' (2)

Islam Media News.com ~ Berikut adalah bagian ke-2 pembahasan tentang Pengertian Bid'ah Menurut Syara'. Bagian pertama silakan baca di sini


b. Imam al-Nawawi

Beliau adalah seorang hafizh dan faqih dalam mazhab Syafi’i yang telah menghasilkan banyak karya yang hingga saat ini masih dikaji di dunia Islam. Beliau memberi pengertian bid’ah sebagai berikut:

هِيَ إِحْدَاثُ مَالَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22)

Selain memberikan pengertian bid’ah, beliau pun menjelaskan bahwa bid’ah itu terbagi ke dalam dua bagian. Beliau berkata:

هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌُ إِلَى حَسَنَةٍِ وَقَبِيْحَةٍِ


“Bid’ah terbagi menjadi dua: bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk). (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22)

c. Imam al-Syafi’i 
Beliau adalah seorang mujtahid mutlaq sekaligus pendiri mazhab Syafi’i, yang diikuti oleh mayoritas kaum Ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau berkata tentang bid’ah:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلاَلَةِ  وَمَا اُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍِ


“Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam Manaqib al-Syafi’i, 1/469)

Dalam riwayat lain, yakni yang berasal dari Imam Abu Nu’aim, juga disebutkan bahwa Imam al-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: مَحْمُوْدَةٌُ وَمَذْمُوْمَةٌُ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ، وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ


“Bid’ah itu terbagi dua: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, sedangkan bid’ah tercela adalah yang menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.” (Fath al-Bari, Juz 17, hal. 10)

Kalau kita perhatikan ungkapan Imam al-Syafi’i di atas terlihat dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua kategori: bid’ah dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para ulama. Jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka ia tergolong bid’ah dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid’ah hasanah, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw.

Bahkan Imam al-Syafi’i menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf.


Simaklah perkataan beliau berikut ini:

كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥


“Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”


Ketika Imam al-Syafi’i berkata demikian tentunya pembaca tidak akan berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Beliau adalah seorang ulama yang pendapatnya paling banyak dianut oleh umat Islam. Namun rasanya kurang tepat bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat Imam al-Syafi’i saat beliau membagi bid’ah menjadi dua bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.


Dalil Pertama:
Hadits yang bersumber dari Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‏ ‏مَنْ ‏ ‏أَحْدَثَ ‏ ‏فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ ‏ ‏رَدٌّ


“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak.” (HR Imam Muslim)


Dalil Kedua:
Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali ra yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‏‏مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ ‏

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut, juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Imam Muslim)


Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi Saw di dalam hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya itu. 

Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis (menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi Saw mengancam orang-orang yang melakukan hal ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap perbuatan buruk dan dosa karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu. Perlu diingat bahwa sunnah hasanah dan sunnah sayyiah yang disebutkan dalam hadist tersebut tidaklah terikat hanya pada masa kehidupan Nabi Saw saja, namun maknanya melingkupi kedua jenis perbuatan tersebut sejak ditetapkannya syari’at itu hingga saat ini dan masa yang akan datang.

Dalil Ketiga:
Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari ra yang berkata:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اْلقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إِلَى اْلمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ اََوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍِ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ.


“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata, “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik.” Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR Imam Bukhari dan Imam Malik)

Hadits ini menjelaskan tentang ucapan Umar bin Khaththab ra yang mengatakan bahwa shalat Tarawih secara berjamaah terus menerus selama bulan Ramadhan adalah bid’ah, namun tentunya bid’ah yang baik. 

Berdasarkan pada tiga hadits di atas muncullah pendapat Imam al-Syafi’i yang menegaskan bahwa bid’ah itu terbagi dua: bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Sebenarnya terdapat banyak dalil yang menudukung fatwa ini, namun bagi orang yang berakal, tiga dalil pun sudah cukup untuknya guna mengakui kebenaran fatwa tentang bid’ah yang disampaikan oleh al-Imam al-Syafi’i ini.

d. Imam al-Suyuthi 
Beliau adalah seorang ulama besar di lingkungan mazhab Syafi’i yang telah menulis banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara kitab karyanya adalah Tanwir al-Halik Syarah Muwatha’ Malik, Syarah Sunan Nasa’i, dan penulis dari separuh isi kitab Tafsir Jalalain. Tentang bid’ah beliau berkata:

أَصْلُ الْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍِ سَابِقٍ، وَتُطْلَقُ فِى الشَّرْعِ عَلَى مَا يُقَابِلُ السُّنَّةَ أَيْ مَالَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ


“Maksud asal dari kata ‘bid’ah’ adalah sesuatu yang baru diadakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada masa Nabi Saw. Kemudian hukum bid’ah terbagi ke dalam hukum yang lima.” (Tanwir al-Halik, Juz I, hal. 137)

Bersambung ke bagian ke-3

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.