1. Dalam dialog tersebut, perwakilan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah
sebagai pembicara, hanya al-faqir Muhammad Idrus Ramli. Sedangkan Kiai
Thobari Syadzili, hanya menemani duduk, tidak diberi waktu berbicara,
kecuali 1 menit menjelang acara dihentikan. Sementara dari pihak Radio
Hang atau Wahabi, adalah Ustadz Zaenal Abidin dan Ustadz Firanda
Andirja. Isu-isu dari kaum Wahabi, bahwa perwakilan dari Ahlussunnah
adalah saya dan beberapa orang, adalah tidak benar. Jadi yang benar,
debat 1 orang lawan 2 orang.
2. Dalam acara dialog tersebut, semua pembicara dibatasi oleh waktu.
Karenanya mungkin banyak pembicaraan Wahabi yang tidak sempat kami
tanggapi, dan sebaliknya.
3. Dalam pengantar dialognya, Ustadz Zaenal Abidin Lc, yang mewakili
pihak Wahabi, mengaku sebagai warga NU (Nahdlatul Ulama) tulen. Padahal
selama ini, dalam ceramah-ceramahnya ia selalu membid’ahkan amalian
warga NU. Dan ternyata, dalam dialog tersebut, Zaenal Abidin, tidak
bisa menyembunyikan jatidirinya yang Wahabi. Ia menyalahkan ajaran NU
seperti menerima bid’ah hasanah, melafalkan niat dalam ibadah, qunut
shubuh, tahlilan (kendurenan tujuh hari), Yasinan dan Yasin Fadhilah.
Silahkan pemirsa menilai sendiri dengan hati nurani. Zaenal mengaku
warga NU tulen, tetapi menyalahkan semua amaliah NU.
4. Delegasi dari Wahabi, Zaenal maupun Firanda, tidak menaruh hormat
kepada pendapat para ulama besar sekaliber Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lain. Misalnya dalam bahasan
bid’ah hasanah, saya mengutip pendapat Imam an-Nawawi yang menjelaskan
bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah, dibatasi dengan hadits man sanna
sunnatan hasanatan. Firanda tidak menghargai pendapat Imam an-Nawawi
tersebut, dan memilih berpendapat sendiri. Padahal dia, masih belum
layak memiliki pendapat sendiri. Bahkan memahami karya para ulama juga
sering keliru. Pembaca dan pemirsa tentu tahu, bahwa ciri khas kaum
liberal atau JIL adalah menolak otoritas ulama.
5. Zaenal dan Firanda menggunakan standar ganda dalam menilai pendapat
para ulama. Ketika pendapat mereka sesuai dengan semangatnya, mereka
mati-matian menyerang tradisi NU, seperti dalam kasus tradisi kenduri
kematian selama 7 hari, yang dihukumi makruh dalam kitab-kitab
Syafi’iyah. Seakan-akan mereka lebih Syafi’iyah dari pada warga NU.
Akan tetapi ketika pendapat para ulama tidak sesuai dengan hawa nafsu
mereka, Firanda dan Zaenal menganggap pendapat tersebut tidak ada
apa-apanya. Seperti dalam bahasan bid’ah hasanah. Sikap mendua seperti
ini, mirip sekali dengan kebiasaan orang Syiah. Ketika hadits riwayat
al-Bukhari dan Muslim sesuai dengan keinginan Syiah, mereka jadikan
hujjah. Akan tetapi ketika hadits-hadits tersebut berbeda dengan hawa
nafsu Syiah, mereka tolak dan mereka dustakan.
6. Dalam bahasan qunut shubuh, Firanda melakukan kesalahan ilmiah
ketika mengomentari tanggapan saya terhadap hadits Abi Malik
al-Asyja’i. Sebagaimana dimaklumi, dalam riwayat al-Tirmidzi,
an-Nasa’i, Musnad Ahmad dan Ibnu Hibban, Abu Malik al-Asyja’i menafikan
qunut secara mutlak, baik qunut nazilah maupun qunut shubuh. Tetapi
Firanda mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits, hadits Abu Malik
al-Asyja’i menggunakan redaksi yaqnutun fil fajri (qunut shalat
shubuh). Ternyata setelah kami periksa dalam kitab-kitab hadits,
kalimat fil fajri tidak ada dalam riwayat-riwayat tersebut. Silahkan
diperiksa dalam Sunan al-Tirmidzi juz juz 2 hal. 252 (tahqiq Ahmad
Syakir), Sunan al-Kubra lin-Nasa’i, juz 1 hal. 341 tahqiq at-Turki atau
al-Mujtaba lin-Nasa’i juz 2 hal. 304 tahqiq Abu Ghuddah.
7. Firanda memaksakan diri mengatakan bahwa hukum kenduri kematian
selama tujuh hari menurut Syafi’iyah adalah makruh tahrim. Padahal
dalam kitab-kitab Syafi’iyah, hukumnya adalah bid’ah yang makruh dan
tidak mustahabbah, alias bukan makruh tahrim. Untuk menguatkan
pandangannya, Firanda mengutip pernyataan Syaikhul Islam Zakariya
al-Anshari, dalam Asna al-Mathalib, yang berkata “wa hadza zhahirun fit
tahrim”. Ternyata setelah kami periksa, Syaikhul Islam Zakariya, masih
menghukumi kenduri kematian dengan makruh atau bid’ah yang tidak
mustahab (tidak sunnah). Sedangkan keharaman yang menjadi makna zhahir
hadits tersebut, oleh beliau dialihkan kepada bukan tahrim. Hal ini
dapat dipahami, ketika membaca dengan seksama, bahwa Syaikhul Islam
Zakariya dalam pernyataan tersebut, mengutip dari Imam an-Nawawi dalam
Raudhah al-Thalibin dan al-Majmu’, yang menghukumi kenduri kematian
dengan bid’ah yang tidak mustahab.
8. Zaenal Abidin, kurang memahami istilah-istilah keilmuan. Misalnya
tentang qiro’ah syadzdzah (bacaan yang aneh atau menyimpang), dalam
membaca al-Qur’an. Menurut Zaenal, orang yang membaca ayat al-Qur’an,
apabila diulang-ulang maka termasuk qiro’ah syadzdzah yang diharamkan.
Sebaiknya Zaenal belajar ilmu qiro’ah atau ilmu tafsir agar tidak
keliru dalam hal-hal kecil.
9. Dalam bahasan melafalkan niat, menurut Firanda dan Zaenal, redaksi
niat harus menggunakan redaksi usholli dan nawaitu showma ghadin. Kalau
redaksinya dirubah menjadi nawaitu an ushalliya atau inni shoimun, dan
atau ashuumu, menurut mereka adalah salah dalam madzhab Syafi’iyah.
Demikian beberapa catatan kami terhadap dialog kemarin. Wallahul muwaffiq.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Batam, 30 Desember 2013
Sumber: di sini
0 komentar:
Posting Komentar