Islam Media News.com ~ Menurut Para Ulama Madzhab Hanafiyah
( قَوْلُهُ لَا بَأْسَ لِلْإِمَامِ ) أَيْ
وَالْمُقْتَدِينَ ( قَوْلُهُ عَقِبَ الصَّلَاةِ ) أَيْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ
قَالَ فِي الْقُنْيَةِ إمَامٌ يَعْتَادُ كُلَّ غَدَاةٍ مَعَ جَمَاعَتِهِ
قِرَاءَةَ آيَةِ الْكُرْسِيِّ وَآخِرَ الْبَقَرَةِ – ، وَ { شَهِدَ اللهُ }
– وَنَحْوَهَا جَهْرًا لَا بَأْسَ بِهِ وَالْإِخْفَاءُ أَفْضَلُ ا هـ . وَتَقَدَّمَ
فِي الصَّلَاةِ أَنَّ قِرَاءَةَ آيَةِ الْكُرْسِيِّ وَالْمُعَوِّذَاتِ
وَالتَّسْبِيحَاتِ مُسْتَحَبَّةٌ وَأَنَّهُ يُكْرَهُ تَأْخِيرُ السُّنَّةِ
إلَّا بِقَدْرِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ إلَخْ ( قَوْلُهُ قَالَ
أُسْتَاذُنَا ) هُوَ الْبَدِيعُ شَيْخُ صَاحِبِ الْمُجْتَبَى وَاخْتَارَ
الْإِمَامُ جَلَالُ الدِّينِ إنْ كَانَتْ الصَّلَاةُ بَعْدَهَا سُنَّةٌ
يُكْرَهُ وَإِلَّا فَلَا
(Tidak mengapa bagi imam) dan makmum (sesudah shalat) yakni shalat
subuh, Beliau berkata dalam Al Qunyah : Imam yang mempunyai kebiasaan
setiap pagi beserta jama’ahnya membaca ayat kursi dan akhir al baqoroh
dan Syahidallohu dan semacamnya, tidak mengapa baginya membacanya dengan keras, sedang membaca dengan pelan lebih utama. Telah diterangkan dalam bab shalat
bahwasannya membaca ayat kursi, al ikhlash, dan mu’awwidzatain juga
bacaan-bacaan tasbih adalah sunnah, dan bahwasannya dimakruhkan
mengakhirkan shalat sunnah kecuali hanya dengan sekedar membaca “Allohumma antas Salaam …dst
(guru kami berkata) -dia adalah Al Badi’ yang merupakan guru dari
pengarang kitab Al Mujtabaa- beliau berkata : Al Imaam Jalaaluddin
memilih (pendapat yang mengatakan) “Jika setelah sholat fardhu ada shalat sunnah (ba’diyah) maka hukumnya makruh, jika tidak ada shalat sunnah setelah shalat fardhu maka tidak makruh”. (Roddul Mukhtar, vol 27. hal 96)
Menurut Madzhab Malikiyah
( وَ ) جَازَ ( رَفْعُ صَوْتِ مُرَابِطٍ ) وَحَارِسِ
بَحْرٍ ( بِالتَّكْبِيرِ ) فِي حَرَسِهِمْ لَيْلًا وَنَهَارًا ؛ لِأَنَّهُ
شِعَارُهُمْ ، وَمِثْلُهُ رَفْعُهُ بِتَكْبِيرِ الْعِيدِ وَبِالتَّلْبِيَةِ
، وَكَذَا التَّهْلِيلُ وَالتَّسْبِيحُ الْوَاقِعُ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ
الْخَمْسِ أَيْ مِنْ الْجَمَاعَةِ لَا الْمُنْفَرِدِ ، وَالسِّرُّ فِي
غَيْرِ ذَلِكَ أَفْضَلُ وَوَجَبَ إنْ لَزِمَ مِنْ الْجَهْرِ التَّشْوِيشُ
عَلَى الْمُصَلِّينَ أَوْ الذَّاكِرِينَ ( وَكُرِهَ التَّطْرِيبُ ) أَيْ
التَّغَنِّي بِالتَّكْبِيرِ .
(Dan) boleh (mengeraskan suara bagi Murobith/pemimpin pasukan) dan penjaga pantai (membaca takbir) dalam wilayah penjagaan
mereka baik malam atau siang hari, karena hal tersebut menjadi tanda
bagi mereka. Dan Begitu juga dengan takbir hari raya, talbiyah, tahlil,
tasbih yang terjadi setelah sholat lima waktu dalam berjama’ah bukan
ketika sholat sendiri. Sedang membaca pelan pada selain yang tersebut
lebih baik, bahkan wajib (memelankan suara) jika kerasnya suara dapat
mengakibatkan gangguan bagi orang yang sholat atau orang yang berdzikir.
(dan dimakruhkan) melagukan bacaan takbir. (Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, vol 7. hal 179)
Menurut Madzhab Syafi’iyah
( قال الشَّافِعِيُّ ) وَهَذَا مِنَ الْمُبَاحِ
لِلْاِمَامِ وَغَيْرِ الْمَأْمُومِ قَالَ وَأَيُّ إمَامٍ ذَكَرَ اللهَ
بِمَا وَصَفْت جَهْرًا أو سِرًّا أو بِغَيْرِهِ فَحَسَنٌ وَأَخْتَارُ
لِلْاِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ
مِنَ الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا
يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ
تُعُلِّمَ مِنْهُ ثُمَّ يُسِرُّ
(Imam As Syafi’iy berkata) Dan ini adalah termasuk perkara mubah bagi imam dan selain makmum. Dan siapapun imam yang berdzikir menyebut Allah dengan dzikir yang telah aku sifati atau dengan dzikir yang lain, baik dengan keras maupun pelan, maka hal itu baik. Dan aku memilih untuk imam dan makmum hendaknya mereka berdzikir kepada Allah setelah selesai dari sholat seraya memelankan dzikir-nya,
kecuali bagi imam yang berkewajiban dijadikan belajar (oleh makmum)
maka imam mengeraskan suaranya sehingga sang imam berpendapat bahwa
makmum sungguh telah belajar darinya, baru kemudian imam memelankan (dzikirnya). (Al Umm, vol 1. hal 127)
(بَابُ الْأَذْكَارِ بَعْدَ الصَّلاَةِ) أَجْمَعَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى اِسْتِحْبَابِ الذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، وَجَاءَتْ
فِيْهِ أَحَادِيْثُ كَثِيْرَةٌ صَحِيْحَةٌ فِي أَنْوَاعٍ مِنْهُ
مُتَعَدِّدَةٍ ، فَنَذْكُرُ طَرَفًا مِنْ أَهَمِّهَا.
(Bab dzikir ba’da shalat) Para ulama telah bersepakat disunnahkannya dzikir ba’da shalat, dan telah ada hadits-hadits yang cukup banyak dan sohih (yang menjelaskan) macam-mazam dzikir. (Al Adzkar, vol 1. hal 70)
فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ السُّنَّةُ في أَكْثَرِ
الْأَدْعِيَةِ وَالْأَذْكَارِ الْإِسْرَارُ إلَّا لِمُقْتَضٍ وَعِبَارَةُ
شَرْحِي لِلْعُبَابِ مَعَ مَتْنِهِ وَيُسَنُّ الدُّعَاءُ وَالذِّكْرُ
سِرًّا وَيَجْهَرُ بِهِمَا بَعْدَ السَّلَامِ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ
الْمَأْمُومِينَ فإذا تَعَلَّمُوا أَسَرُّوا
Ibnu Hajar Al Haitami ketika ditanya tentang mengeraskan suara dalam berdzikir sesudah shalat hingga mengganggu orang yang sedang shalat, beliau menjawab dengan pernyataannya : “Yang sunnah dalam banyak do’a dan dzikir adalah dengan memelankan suara kecuali ada hal yang mendorong (untuk mengeraskan). Redaksi penjelasanku atas kitab Al ‘Ubaab berikut matannya adalah : “Dan disunnahkan berdo’a dan dzikir dengan pelan, sedang Imam dapat mengeraskan do’a dan dzikir sesudah salam untuk mengajari makmum, selanjutnya jika makmum telah belajar maka mereka (imam dan makmum) memelankan (dzikir-nya). (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, vol 1. hal 70)
فَصْلٌ : وَأَمَّا بَعْدَ السَّلَامِ مَا يُقَالُ بَعْدَ
السَّلَامِ مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَارِثِ
عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا سَلَّمَ أَحَدُكُمْ مِنْ صَلَاتِهِ
قَالَ : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ ، وَمِنْكَ السَّلَامُ ،
تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَقُولُ فِي أَدْبَارِ الصَّلَوَاتِ : ” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْمَعَ فِي دُعَائِهِ
بَيْنَ الْخَبَرَيْنِ يَبْدَأُ بِدُعَاءِ ابْنِ الزُّبَيْرِ ، ثُمَّ
بِدُعَاءِ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، ثُمَّ إِنْ أَحَبَّ أَنْ
يَزِيدَ عَلَى ذَلِكَ مَا شَاءَ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا فَعَلَ ، وَيُسِرُّ
بِدُعَائِهِ وَلَا يَجْهَرُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ إِمَامًا يُرِيدُ
تَعْلِيمَ النَّاسِ الدُّعَاءَ ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْهَرَ بِهِ قَالَ
اللهُ تَعَالَى : وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
[الْإِسْرَاءِ] . قَالَ الشَّافِعِيُّ : مَعْنَاهُ لَا تَجْهَرْ
بِصَلَاتِكَ جَهْرًا لَا يُسْمَعُ ، وَلَا تُخَافِتْ بِهَا إِخْفَاتا لَا
يُسْمَعُ
Fasal : Adapun setelah salam, yakni tentang apa yang dibaca setelah salamnya shalat,
maka Abdulloh bin Al Harits meriwayatkan dari ‘Aisyah –rodhiyallohu
‘anha- bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Jika seseorang dari kalian selesai salam dari sholatnya hendaknya ia berdo’a ; “Allohumma Antas Salaam Waminkas Salaam Tabaarokta Yaa Dzal Jalaali Wal Ikrrom”. Abdulloh bin Az Zubair meriwayatkan; Bahwasannya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam disetiap selesai dari shalat-nya beliau membaca : “Asyhadu an laa ilaaha illallohu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir.” Dan dianjurkan (bagi orang yang selesai shalat) menggabungkan dua hadits tersebut dalam do’anya,
dimulai dengan riwayat Ibnu Zubair kemudian riwayat ‘Aisyah
–rodhiyallohu ‘anha-, selanjutnya jika ia ingin menambahkan-nya dengan do’a yang ia inginkan baik berupa urusan agama atau urusan dunia maka ia dapat melakukannya. Dan hendaknya ia memelankan suara do’anya dan tidak mengeraskannya, kecuali ia menjadi imam yang bertujuan ingin mengajari manusia dengan do’a tersebut, maka tidaklah mengapa mengeraskan do’anya. Alloh Ta’aala berfirman : “dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam sholat dan janganlah (pula) merendahkannya “ (Al Isroo’ : 110) Imam As Syafi’iy berkata : “Maksudnya adalah; Jangan engkau mengeraskan suaramu dalam shalat
dengan terlalu keras hingga tidak dapat didengar, dan janganlah (pula)
engkau merendahkannya dengan terlau rendah hingga tidak didengar.” (Al Haawi Fi Fiqhis Syafi’iy, vol 2. hal 147)
Menurut Madzhab Hanabilah / Hanbaliyah
(فَصْلٌ) وَيُسْتَحَبُّ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى
وَالدُّعَاءُ عَقِيْبَ الصَّلاَةِ وَالْاِسْتِغْفَارِ كَمَا وَرَدَ فِي
الْاَخْبَارِ فَرَوَي اَلْمُغِيْرَةُ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ : لَا
إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ
الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ
لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا
الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ ” متفق عليه،
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, berdo’a
dan istighfar sesudah sholat sebagaimana yang ada dalam beberapa
hadits. Al Mughiroh meriwayat-kan, ia berkata : “Adalah Nabi
-shollallohu ‘alaihi wasallam- disetiap selesai sholat maktubah beliau
membaca : “Laa ilaaha illallohu wahdahu laa syariika lahu, lahul
mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir, Allohumma laa
maani’a limaa a’thoita walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal
jaddi minkal jaddu” (Muttafaq ‘Alaih) (As Syarhul Kabiir Libni Qudamah, vol 1. hal 70)
فَصْلٌ : وَيُسْتَحَبُّ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى ،
وَالدُّعَاءُ عَقِيبَ صَلَاتِهِ ، وَيُسْتَحَبُّ مِنْ ذَلِكَ مَا وَرَدَ
بِهِ الْأَثَرُ ، مِثْلُ مَا رَوَى الْمُغِيرَةُ ، قَالَ : { كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ
صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ : لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ،
لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ،
اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ،
وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ }
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, dan berdo’a sesudah sholatnya, dan dianjurkan pula hendaknya diantara dzikir dan do’a yang dibaca terdapat bacaan yang telah ada dalam atsar, seperti bacaan dan do’a yang diriwayatkan Al Mughiroh, ia berkata : “Adalah Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- disetiap selesai shalat maktubah beliau membaca : “Laa
ilaaha illallohu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu
wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir, Allohumma laa maani’a limaa a’thoita
walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu” (Al
Mughni, vol. 2, hlm. 471)
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulah bahwa hukum dzikir berjamaah setelah shalat fardhu tidaklah haram (bid’ah) sebagaimana pendapat sebagian kecil umat Islam. Bahkan penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa hukum dzikir berjamaah setelah shalat fardhu itu hukumnya sunnah.
Oleh: Ustadz Abu Hilya
Yang manjadi permasalahan bukan boleh tidaknya berzikir setelah shalat.
BalasHapusYang manjadi masalah adalah, bolehkah mengeraskan suara zikir dangan dipimpin oleh imam, sedangkan disitu ada jama'h lain yang masih shalat atau masbu'?????????
Dari kesimpulan yang dipaparkan"boleh".
HapusJika ada dalil yang membolehkan mk ambil maslahah yg terbesarnya, pendidikan dengan pembiasaan akan mudah diamalkan secara Istikomah daripada pembelajaran secara teror
paparannya oke.kok kesimpulannya sprt brtentangan????
BalasHapuspaparannya oke.kok kesimpulannya sprt brtentangan????
BalasHapusUmar bin Ali al-Bazzar yang menjadi saksi mata sebagai berikut:
BalasHapusفَإِذَا فَرَغَ أَيْ اِبْنُ تَيْمِيَةَ مِنَ الصَّلاَةِ أَثْنَى عَلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ … ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالَى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ… فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ – أَعْنِي مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ – فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا… وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتِهِ. (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).
“Apabila Ibnu Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama-sama jama’ah yang hadir dengan doa yang warid (datang dari Nabi), Allahumma anta al-salam … Kemudian dia menghadap kepada jama’ah, lalu bersama mereka membaca tahlil yang warid, lalu membaca subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar, masing-masing 33 kali, dan melengkapi yang keseratus dengan membaca tahlil yang warid, kemudian dia berdoa untuk dirinya, jama’ah dan seluruh kaum Muslimin. Selanjutnya dia membaca surat al-Fatihah, mengulang-ulanginya –yakni sejak terbitnya fajar hingga matahari naik ke atas. Hal tersebut sebagai bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Umar bin Ali al-Bazzar, al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyyah, hal. 37-39).[]
Mantul
HapusDalam fiqih ada slh 1 hadis yg diriwayatkan oleh slh seorg sahabat sbb:
BalasHapusRasulullah melarang membaca alqur'an dgn suara jika disekitar kita ada org yg sdg sholat, sementara imam berzikir dg suara yg keras disaat makmum masbuh melanjutak sholatnya. Bagai mana itu? apakah imam zikir dg suara haram...? Tlg penjelasannya.
Penulus gagal paham neh. Para imam tidak ada yg menjelaskan lebih baik dzikir berjamaah dan dikeraskan kecuali pada sholat tertentu seperti gerhana atau sekedar memberi contoh bukan dijadikan kebiasaan rutin.
BalasHapusIngat jika anjuran anda keliru pada hal nyata tidak ada tuntunan, maka penulus akan diminta pertanggungjawabannya.
Wallahu a'lam....
kesimpulannya gak sama dg penjelasan..
BalasHapussy bntu ksh kesimpulan ya..
lbh baik merendahkan suara. klo mau dikeraskan buat yg mau ngajari.tp stlh nya merendah lg suaranya. tp tidak ganggu org lain yg lagi sholat ato lagi dzikir
Betul. Kesimpulannya kok beda dg pokok personalannya, yaitu berdzikir/berdo'a dg suara keras.
BalasHapus