Islam Media News.com ~ Memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari
lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan
bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah
mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan
hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah
mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan
tabi`it tabi`in.
Menurut Imam As-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati
hari kelahiran Rasulullah saw ini dengan perayaan yang meriah luar
biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin
Baktakin (l. 549 H. - w.630 H.). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau
keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid
ini. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syi’ir dan
karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.
Di antara karya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi SAW dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid Nabi SAW.
Maka sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran Nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi`ir peristiwa kelahiran Rasulullah SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi gempuran musuh. Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi.
Di Indonesia, terutama di pesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.
Kembali kepada hukum merayakan maulid Nabi SAW, apakah termasuk bid`ah atau bukan?
Memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid`ah. Karena tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat seperti perayaan tetapi termasuk bid’ah hasanah (sesuatu yang baik), Seperti Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم
“Dari Abi Qotadah
al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa
hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan
wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)
Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah:
‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan.’ ” (QS.Yunus:58).
Ada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada setiap
hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di Neraka dibandingkan dengan
hari-hari lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah saw lahir,
dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa
perlu membebaskan (memerdekakan) budaknya yang bernama Tsuwaibatuh
Al-Aslamiyah.
Jika Abu Lahab yang non-muslim dan Al-Qur’an jelas
mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas
kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama
Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW?
Jika sebagian
umat Islam ada yang berpendapat bahwa merayakan Maulid Nabi SAW adalah
bid’ah yang sesat karena alasan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah
saw sebagaimana dikatakan oleh beliau:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي
Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan. (HR Abu Daud dan Tarmizi)
Maka selain dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut, juga secara semantik (lafzhi) kata ‘kullu’ dalam hadits tersebut tidak menunjukkan makna keseluruhan bid’ah (kulliyah) tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah (kulli) saja. Jadi, tidak seluruh bid’ah adalah sesat karena ada juga bid’ah hasanah, sebagaimana komentar Imam Syafi’i:
المُحْدَثَاتُ ضَرْباَنِ مَاأُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذَالِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرَ مَذْمُوْمَةٍ
Sesuatu yang diada-adakan
(dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama)
bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, prilakuk sahabat, atau
kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang
diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al
Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak
tercela (baik). (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Juga realitas di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada mereka yang melarang maulid Nabi SAW. Ternyata fenomena tradisi maulid Nabi SAW itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam diantara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.
Buktinya,
bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku.
Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah
ke-islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW sulit
membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang
baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah
sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah.
Perlu
dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan
maulid Nabi SAW:
وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Menurut
saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca
al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai
perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati
bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak
lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang
melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW,
menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw
yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah SAW.”
Pendapat
Abu Shamah (guru Imam Nawawi): ”Termasuk hal baru yang baik dilakukan
pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari
kelahiran Rasulullah saw. dengan memberikan sedekah dan kebaikan,
menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut
menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW dan
penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada
Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta”.
Untuk
menjaga agar perayaan maulid Nabi SAW tidak melenceng dari aturan agama
yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:
1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
3. Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.
4. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
5. Meningkatkan silaturrahim.
6. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah SAW di tengah-tengah kita.
7. Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuritauladani Rasulullah SAW.
Ustadz H.M. Cholil Nafis, Lc, MA, Ph.D
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU
0 komentar:
Posting Komentar